Perbandingan 3 Artikel Pemasaran

PERBANDINGAN 3 ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS METODE ILMIAH

Pembimbing Mata Kuliah:
Ibu Evi Maharani


Oleh:
RITA JUNITA
NIM. 1106112014



ARTIKEL 1: STRATEGI PEMASARAN BERDASARKAN NILAI KASTEMER
Strategi yang kuat adalah strategi yang mampu menciptakan keunggulan bersaing yang bertahan (sustainable competitive advantage - SCA) (Aaker 2001). Sekedar unggul bersaing di saat lalu atau di saat ini tidak cukup. Suatu perusahaan harus mampu memenangkan persaingan di masa mendatang. Mereka perlu menciptakan keunggulan dalam bersaing yang sulit ditiru. Dalam industri horeka hal ini tidak mudah karena layanan suatu perusahaan umumnya mudah ditiru oleh perusahaan-perusahaan lain (Morrison 1989). Strategi yang didasarkan pada kemampuan memuaskan kastemer dapat menjadi sebuah SCA yang sulit ditiru. Sekali suatu perusahaan menetapkan sikap untuk menjadi penyaji layanan berdasar aspirasi nilai dari segmen-segmen yang dilayaninya, kompetensi perusahaan tersebut secara kumulatif akan berkembang mencapai sasaran tersebut. Lalu bagaimana menyusun strategi seperti itu? Menyusun dan mengimplementasikan strategi yang efektif berdasar kelompok nilai kastemer memerlukan beberapa langkah berikut salah satunya yaitu:
Merancang ulang produk dan layanan sesuai ospirasi tiap kelompok nilai
Untuk tiap-tiap kelompok nilai, rancang ulang produk dan layanan dengan menggunakan sudut pandang yang berpusat pada kastemer (customer- centric). Dalam pendekatan ekperiensial, kelima indera kastemer menjadi faktor penentu. Pertama, bayangkan keterlibatan kastemer dalam melewati seluruh tahap sejak menemukan perusahaan anda hingga menjadi kastemer yang loyal. Kedua, analisalah setiap peristiwa layanan dan produk yang dalam setiap keterlibatan tersebut. Nilailah dengan menggunakan kacamata kastemer setiap peristiwa pengalaman tersebut. Peristiwa tersebut belum tentu berbentuk pertemuan fisik antara karyawan atau produk anda dengan kastemer, tetapi bisa pula berbentuk pertemuan melalui media lain seperti internet, brosur, pembicaraan dari mulut ke mulut (word-of-mouth, WOM).
Untuk tiap peristiwa layanan atau konsumsi produk di atas, lakukan analisa dengan memeriksa satu-demi-satu keterlibatan indera kastemer: pandangan (mata), pendengaran (telinga), peraba dan sensasi fisik (kulit), pencium (hidung), dan pengecap atau rasa (lidah). Misalnya: dalam tahap integrasi (pemakaian), seorang tamu restoran cepat saji akan mengalami apa saja. Pertama, dia akan melihat suasana ruangan dan interior dari gerai perusahaan tersebut dan kerapian penampilan karyawan (mata). Kemudian, dia akan melihat kebersihan ruangan melalui berbagai indera seperti ada tidaknya jejak-jejak kotoran yang masih menempel, mencium bau yang tersebar di ruangan tersebut, menyentuh kebersihan meja counter dengan tangannya, dan mendengarkan musik yang mengalun di ruang tersebut.
Dengan memahami nilai-nilai yang dicari pemenuhannya oleh suatu kelompok nilai, anda akan mendapat ilham untuk mampu merancang ulang produk dan layanan dengan lebih tepat. Memeriksa ulang apakah semua produk sudah koheren. Dalam bisnis-bisnis ekpenensial, cerita dari mulut-ke-mulut (word-of-mouth, WOM) adalah media yang paling kuat pengaruhnya. Berikan bantuan sepenuhnya agar para kastemer anda menyebarkan kepuasan mereka di lingkungan mereka. Sebagai contoh, tempat penginapan home-stay bagi wisatawan luar negeri yang menekankan nilai "hemat, bersih, dan aman" umumnya mendapatkan tamu-tamunya melalui media WOM ini.
(Dikutip dalam Jurnal ORIENTASI NILAI KASTEMER1 SEBAGAI DASAR MENENTUKAN STRATEGI PEMASARAN HOREKA)

ARTIKEL 2: PEMASARAN DALAM IDENTITAS PRODUK
Suatu kemasan yang baik juga harus dirancang untuk memberikan identifikasi atau pengenalan produk secara mudah. Identifikasi dapat dipermudah melalui aspek desain yang meliputi warna, bentuk dan ukuran.
Dalam lastic makanan, warna kemasan merupakan suatu lasti yang penting. Banyak produk-produk makanan, seperti buah-buahan kering, dikemas didalam kantong lastic yang jelas terlihat sehingga para konsumen dapat melihat dan memeriksa isinya. Kopi dan kacang lasti biasanya dikemas didalam kemasan berwarna coklat tua untuk menunjukkan warna produk tersebut. Sup-sup dalam kaleng biasanya dikemas dalam kemasan berwarna merah yang menunjukkan kehangatan.
Bentuk suatu kemasan juga akan membantu para konsumen mengenali isinya. Cukup banyak produk yang dikemas dalam wadah gelas sehingga isinya jelas terlihat. Demikian juga ukuran suatu kemasan juga akan mempermudah pengenalan suatu produk. Di pasaran Indonesia saat ini, kita dapat melihat munculnya berbagai ukuran kemasan, mulai dari kemasan yang besar sampai dengan ukuran yang kecil, yang biasanya disebut “family size”, ekonom–size” dan “professional use”, kita dapat menyaksikan kecap dalam botol besar, botol sedang dan botol kecil, demikian juga bermacam-macam minuman seperti coca-cola, air minum mineral dalam berbagai ukuran.
Gejala yang cukup menarik dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia adalah munculnya kemasan mini atau kemasan unit kecil yang disebut “sachet”. Yang mula-mula melakukannya adalah Kao Father Shampoo, yang menjual shampoo bubuk dalam kemasan unit kecil, bahkan juga shampoo cair dijual dengan kemasan unit kecil dalam bentuk “sachet’. Dalam waktu yang singkat kemasan bentuk mini ini ditiru dan diikuti oleh para produsen lain.
Dewasa ini sudah banyak sekali produk-produk konsumen yang tersedia dalam kemasan mini, muiai dari kecap, deterjen, sabun, lada, berbagai jenis bumbu masakan lainnya. Dalam keadaan ekonomi yang kurang baik dewasa ini, dengan tingkat pendapatan sebagian masyarakat yang cenderung menurun. Kemasan mini tampaknya merupakan salah satu alat pemasaran yang cukup baik bagi para produsen untuk melakukan penetrasi pasar dan meningkatkan brand awareness / kesadaran merk. Masyarakat berpendapatan rendah cenderung membeli produk-produk dalam bentuk kemasan mini yang lebih murah. Kemasan mini juga dapat mendorong pembelian coba-coba (trial purchase) terhadap produk baru yang belum dicoba atau belum dikenal konsumen.
(Dikutip dalam Jurnal: PENGEMASAN SEBAGAI ALAT PEMASARAN

ARTIKEL 3: Pemasaran
Pemasaran adalah segala kegiatan penyaluran barang-barang dan jasa mulai dari produsen sampai pada konsumen. Dalam rangka memperlancar kegiatan arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen, maka salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan adalah saluran pemasaran, sebab kesalahan memilih saluran ini dapat memperlambat bahkan memacetkan usaha penyaluran barang atau jasa. Kelemahan dalam bidang pertanian adalah kurangnya perhatian dalam hal pemasaran, hal ini disebabkan karena fungsi tata niaga seperti pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efesiensi menjadi lemah, (Soekartawi 1989). Saluran dan lembaga pemasaran menurut (Walterts dalam Swastha 1990), Bahwa saluran pemasaran adalah sekelompok pedagang dan agen yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu. Dalam penyaluran barang-barang dari produsen ke konsumen terlihat satu sampai beberapa golongan pedagang perantara, pedagang perantara ini dikenal dengan saluran tata niaga (Hanafiah dan Saefuddin 1986).
Berdasarkan hasil penelitian, sarana pemasaran kopra yang berlaku di Kecamatan Oba terdiri dari 2 macam yaitu.
1. Saluran pemasaran tidak langsung artinya petani menjual ke Pedagang Pengumpul Desa, Pedagang Pengumpul Desa menjual ke Pedagang Pengumpul Kecamatan, Pedagang Pengumpul Kecamatan menjual ke Pedagang besar/eksportir selanjutnya pedagang besar menjual ke konsumen.
2. Saluran pemasaran langsung artinya petani menjual ke Pedagang Kecamatan, Pedagang Kecamatan menjual ke Pedagang besar/eksportir dan selanjutnya Pedagang Besar menjual ke Konsumen.

(Dikutip dalam Jurnal: KAJIAN MARJIN PEMASARAN KOPRA DI KECAMATAN OBA DI KOTA TIDORE KEPULAUAN)


PERBANDINGAN 3 ARTIKEL:
Pada tugas Metode Ilmiah kali ini, saya memilih tiga artikel dari Jurnal yang bertemakan tentang pemasaran. Sebagaimana yang kita pahami, pemasaran tidak akan pernah lepas dari system kehidupan kita sehari-hari, termasuk didalamnya pertanian, dikarenakan semua hasil panen baik yang telah diolah ataupun tanpa diolah, dalam penyalurannya akan membutuhkan system pemasaran. Jika tidak ada pemasaran, maka petani tidak akan menyalurkan hasil dan hasil tidak akan sampai ke tangan konsumen. Dengan kata lain melalui pemasaranlah petani mampu menyampaikan hasil panen atau produk ke tangan konsumen ataupun pabrik yang akan mengolah hasil mentah dari petani. Berikut perbandingan ketiga artikel diatas.
1. Pada artikel 1 yang berjudulkan Strategi Pemasaran Berdasarakan Nilai Kastemer, Penulis jurnal lebih menekankan bagaimana pemasaran hasil produk yang dibuat laku terjual optimum dengan meningkatkan pemasaran dengan memperbaiki factor kepuasan kastemer. Yang meliputi kepuasan kastemer disini, yaitu factor panca indara dari Kastemer. Mulai dari mata, telinga, hidung, kulit, dan terakhir yaitu lidah. Misalnya saja: seorang tamu makanan cepat saji akan melihat menggunakan matanya lingkungan yang dia masuki, mencium dengan hidung bau lingkungan yang ia tempati, merasakan ada atau tidaknya debu menggunakan tangannya, mendengarkan alunan music yang sesuai dengan tema tempat makanan ini dan selanjutnya merasakan nikmat atau tidaknya makanan tersebut. Dan Penulis dalam jurnal ini juga menuliskan bahwa factor yang paling kuat untuk memajukan pemasaran hasil produk yaitu dari penyampaian hasil kepuasan pembeli kepda teman-temannya.

2. Pada artikel 2 yang berjudul Pemasaran dalam Identitas produk, Penulis jurnal menekankan factor pengemasan yang baik untuk memperlancar pemasaran produknya. Ini hampir bersinggungan dengan artikel yang pertama, yaitu menekankan dari segi panca indra kastemer. Jika pengemasan yang baik dilihat oleh mata pembeli, maka pembeli akan menyukai pelayanan dari perusahaan tersebut. Tetapi dalam artikel yang kedua ini, hanya mempengaruhi dalam segi mata, tidak semua pancra indra dari pembeli. Kelebihan dari artikel kedua ini yaitu, Penulis menuliskan bagaimana golongan menengah mampu membeli barang yang sama tanpa mengeluarkan harga yang relative mahal, yaitu berupa sachet. Misalnya: dahulu sachet hanya digunakan oleh perusahaan shampoo, tetapi sekrang telah digunakan pula untuk perusahaan kecap, deterjen, sabun, lada, berbagai jenis bumbu masakan lainnya. Sehingga golongan dari menengah sampai kebawah mampu membeli produk tersebut tanpa merubah rasa ataupun isi dari produk tersebut dalam bentuk sachet.

3. Pada artikel 3 yang berjudul pemasaran, artikel ini membahas bagaimana pemsaran berhasil mencapai titik terkhir ke tangan konsumen. Artikel ini hanya mempertegas bagian dari saluran dari pemasaran itu sendiri. Berbeda dari kedua artikel lainnya, jika artikel satu dan dua mempertegas kepuasan dari pembelinya, maka artikel 3 ini lebih kepada bagaimana barang tersebut sampai ke tangan yang ingin membeli. Seperti:

Saluran pemasaran tidak langsung artinya petani menjual ke Pedagang Pengumpul Desa, Pedagang Pengumpul Desa menjual ke Pedagang Pengumpul Kecamatan, Pedagang Pengumpul Kecamatan menjual ke Pedagang besar/eksportir selanjutnya pedagang besar menjual ke konsumen.
Saluran pemasaran langsung artinya petani menjual ke Pedagang Kecamatan, Pedagang Kecamatan menjual ke Pedagang besar/eksportir dan selanjutnya Pedagang Besar menjual ke Konsumen. Kekurangan dari artikel ketiga ini yaitu hanya membahas tentang saluran dari pemsaran saja, sedangkan kendala-kendala dalam saluran pemsaran itu tidak dibahas sama sekali, Penulis hanya menulis sebari mengenai hal itu dengan kalimat “Kelemahan dalam bidang pertanian adalah kurangnya perhatian dalam hal pemasaran, hal ini disebabkan karena fungsi tata niaga seperti pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efesiensi menjadi lemah” yang dikutip dalam buku Soekartawi 1989, tanpa adanya penelitian lebih lanjut mengenai kendala tersebut.





KESIMPULAN:
Dalam upaya agar pemasaran berhasil dengan baik, kita harus melihat dari segi dua hal yaitu: kepuasan dari pembeli, dan kedua saluran pemasaran barang tersebut. Kepuasan pembeli dalam hal ini yaitu memanjakan pembeli dari factor panca indra, mulai dari telinga, mata, hidung, lidah dan kulit (indra peraba).

Misalnya saja, ketika kita memiliki rumah makan siap saji, pengunjung akan melihat dengan matanya apakah rumah makan kita bersih serta mencium bau dari rumah makan kita, tempat yang bersih dan wangi akan membuat pelanggan akan datang terus, serta akan menyampaikan kesenangannya terhadap rumah makan kita kepada temannya, dan inilah factor yang paling kuat, menentukan pelanggan kita akan bertambah atau tidaknya, karena factor dari mulut ke mulut jauh lebih ampuh dari pada brosur dan internet atau media massa lainnya.

Kemudian contoh produk makanan atau detergen, untuk mempermudah kalangan menengah ke bawah dalam membeli produk kita, kita bisa gunakan system Sachet, telah banyak sekarang diterapkan, baik untuk kecap, deterjen, sabun, lada, berbagai jenis bumbu masakan lainnya. Hal yang terakhir yaitu mengenai bagaiman barang tersebut sampai ke tangan konsumen, atau disebut dengan saluran pemasaran. Dalam segi pertanian kita masih perlu mengembangkan teknologi untuk saluran ini sendiri, dari segi perhatian dalam hal pemasaran, hal ini karena fungsi tata niaga seperti pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efesiensi menjadi lemah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTROL 12 JANUARI 2016

ESAI HIDROPONIK

TANAMAN PENUTUP TANAH / LCC